Jumat, 18 Maret 2016

MENYELUSURI ARSITEKTUR BOLAANG MONGONDOW OLEH HASMAN BAHANSUBU,ST



Menggali budaya daerah adalah bentuk penghormatan pada jasa para leluhur  sehingga dengan demikian kita mengenal diri sendiri dan memahami akan jati diri, mendarah daging hingga karakter akan tercipta dengan sendirinya  dan menimbulkan nilai-nilai dan norma  yang selanjutnya  menimbulkan rasa bangga terhadap daerah pada khususnya dan negeri tercinta Republik Indonesia pada umumnya.
Ditengah era mordenisasi sekarang ini dimana orang-orang seakan berlomba mempercantik tampilan hanya karena image moderen atau kebaruan, hal ini tanpa disadari menggeser nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya bangsa sehingga dipandang perlu untuk menggali atau dengan gerakan menempatkan adat dan budaya daerah pada posisi penting  tanpa mengabaikan kewajiban kita pada Negara dan Ajaran Agama yang kita anut masing-masing.
Berdasarkan pemikiran diatas dan membaca sejarah Bolaang Mongondow yang hampir secara keseluruhan merujuk tulisan W DUNNABIER tentang RAJA- RAJA BOLAANG MONGONDOW, yang berkisar pada kedatangan para leluhur dan berkembangnya  penduduk serta meluasnya permukiman,  dilengkapi dengan kisah penomenal tentang  kelahiran Mokodoludut yang dilegendakan lahir dari telur burung duduk hingga kemudian menjadi Raja, selajutnya kejayaan  Kerajaan Bolaang Mongondow pada masa kepemimpinan Raja Loloda Mokoagow Datoe Binangkang dan  lebih lanjut hikayat para raja yang lain.
Perkembangan dan penyebaran penduduk membuat permukiman seperti permukiman  Babo, permukiman Tudu Pasi,permukiman Tudu Polian, permukiman Tudu Yangat dan lain-lain sebagainya, selalu  dijumpai pada tulisan-tulisan tentang Bolaang Mongondow  namun sangat disayangkan dari kisah-kisah tersebut  diatas tidak ada satu tulisan yang menerangkan tentang asal usul Suku Mongondow yang pasti, (kisah kedatangan Boedoe Langit ynag dibawah air bah kepuncak gunung Komasaan Bintauna), yang konon dikisahkan  puncak daratan yang tidak diterpa air bah, dengan berbagai versi memberikan penjelasan berbeda-beda, bahkan ada yang menyatakan bahwa Boedoe Langit seorang laki-laki yang turun dari langit yang kemudian kawin dengan Tendeduwata (puteri khayangan) sementara  pada sisilain ketika  membaca sejarah asal usul kota Manado, yang mengisahkan tentang terjadinya suku Sangihe kita menemukan nama BUDU LANGI sebagai puteranya HUMANSADULAGE (KOLANO / RAJA KERAJAAN WOWENTEHU / BOWENTWHU) dengan isterinya TENDESHIWU, kemudian BUDU LANGI kawin dengan Puteri dari khayangan bernama PUTERI TING, memperoleh anak TOUMALATITI, dikisahkan bahwa puteri TOUMALATITI rajin mencari kayu di hutan dan menemukan telur burung dudugh diatas pohon lampawanua,  dan membawanya ke istana kemudian TOUMALATITI hamil dengan seorang Pangeran yang datang dimimpinya dan melahirkan seorang anak dan diberi nama MOKODOLUDUGH  yang kemudian menjadi Raja Kerajaan WOWENTEHU/BOWENTEHU dan kawin dengan BAUNIA  mendapatkan anak LONGKONGBANUA kemudian dikarunia anak lagi masing-masing LAYUBANGKAI, URINGSANGIANG,dan SINANGIANG, (sumber Situs Resmi Pemkot Manado, diposting pada tahun 2012),    dari kisah ini menimbulkan tanda tanya dan penafsiran yang bermacam-macam bilah kita kaitkan dengan sejarah Bolaang Mongondow, pertama tanda tanya apakah  BUDU LANGI itukah BOEDOE LANGIT? kalau hal ini benar maka pendapat yang bermunculan bahwa  nenek moyang Bolaang Mongondow dan Sangihe adalah satu berasal dari Kerajaan NEGRITO di GOTABALO MINDANAU sekarang FILIPINA. dimana kisah tadi masih berlanjut tanda tanya  pada puteri TOUMATITI itukah SALAMATITI yang kawin dengan MANGGOPA KILAT (laki-laki yang datang disertai  kilat) kemudian melahirkan anak yang terbungkus dengan selaput rahim bagai telur dan dibuang kesungai yang ditemukan oleh kedua suami isteri AMALIE dan INALIE  sedang dierami seekor burung DUDUK yang kemudian Lahir MOKODOLUDUT yang kemudian menimbukan tanda tanya lagi itukah MOKODOLUDUGH,  lalu bagaimana  dengan anaknya  LAYUBANGKAI dan YAYUBANGKAI apakah orang yang sama? Sebagai penulis saya  berani menyimpulkan bahwa LAYUBANGKAI itulah YAYUBANGKAI karena nama ibunya pada kedua versi sama yaitu BAUNIA.
Sejalan dengan judul penelusuran Arsitektur Bolaang Mongondow maka upaya penulis selanjutnya menggali tata cara Orang Mindanau membuat tempat tinggal. namun sebelumnya  saya masih tertarik dengan kata MONGONDOW  yang akhirnya dinyatakan sebagai nama suku.
MONGONDOW dari beberapa tulisan terdapat perbedaan tentang MONGONDOW, ada yang menjelaskan bahwa MONGONDOW adalah nama perkampungan diatas bukit, tetapi ada pula yang menyatakan MONGONDOW adalah perubahan dari kata MOMONDOW atau berseru merayakan kemenangan, namun bagi saya sebagai penulis mencoba mendekatkan kata MONGONDOW dan MONGOL atau MONGOLIA, hal ini sangat erat hubungannya dengan Kerajaan NEGRITO yang diserang oleh Pasukan MONGOLIA kemudian pasukan tersebut menyebar ke arah  Selatan yaitu Sulawesi bagian Utara, Sangihe, Minahasa dan Bolaang Mongondow dan menjadi suku masing-masing sesuai tempat yang menerka berkembang.
Khusus suku MONGONDOW pendapat saya sebagai penulis dengan merujuk salah satu sejarah Kota Manado yang menjelaskan sebutan Manado oleh suku Sangihe MONAROW  dan sebutan suku Mongondow  MONADOW dimana row dan dow artinya jauh maka MONGO mungkinkah MONGOLIA dan N mungkinkah NEGRITO sementara dow jauh, sehingga dapatkah diartikan MONGOLIA dan suku dari Kerajaan NEGRITO yang berada ditempat yang jauh dari negeri asalnya menjadi MONGONDOW hal ini hanya sebuah tafsiran yang belum tentu kebenaranya.
Tetapi hal  menarik lainnya dalam  semua tulisan tentang Bolaang Mongondow seakan memberikan gambaran bahwa sebelum adanya BOEDOE LANGIT dan lain-lain di Bolaang Mongondow sudah ada kehidupan para BOGANI sebagai pemimpin masyarakat Bolaang Mongondow, sehingga kembali menimbulkan penafsiran bahwa dikisahkan dalam AlQUR’AN tentang terjadinya air bah yang besar melanda dunia  di Zaman Nabi NUH, mungkinkah para BOGANI bagian dari UMAT NABI NUH yang dibawah air bah dan sampai di Bolaang Mongondow hal ini mungkin saja dapat dipercaya mana kalah  melihat Makam para BOGANI sepanjang 5 sd 7 M, wallahualam bi sawab.
Dengan adanya penjelasan  diatas sedikit memberikan gambaran budaya asal yang kemudian menjadi titian penelusuran asal usul Arsitektur  Bolaang Mongondow, disamping itu tulisan-tulisan yang adapun tidak ada yang memberikan gambaran tentang seperti apa  tempat tinggal mereka, di daerah lain terdapat banyak tulisan yang menerangkan tentang tata cara hidup dan penghidupan para leluhurnya termasuk tata cara mendirikan bangunan tempat tinggal.
Untuk itulah kali ini saya mencoba menggali seperti apa tempat tinggal leluhur atau nenek moyang  dahulu, namun sangat disayangkan tidak ada catatan yang dapat dijadikan referensi.maka saya hanya memanfaatkan bertanya kepada orang-orang tua yang dianggap memahami dan menafsirkan dengan keterbatasan pengetahuan yang ada, namun saya menyakini dari bahasa yang mereka gunakan berkomunikasi, dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa penyebutan jenis barang atau apapun termasuk tempat tinggal (langkeang, laig, baloi) atau dangau,gubuk, rumah sudah ada sejak zaman para leluhur, sehingga dengan demikian saya berpendapat bahwa leluhur  sudah membangun tempat tinggal seperti langkeang (dangau), laig (gubuk) bahkan baloi (rumah) namun bentuknya seperti apa tidak ada yang dapat dijadikan contoh atau referensi.
Atas dasar pemikiran bahwa bahasa merupakan sarana utama berkomunikasi, sebagai penulis saya menyakini bahwa nenek moyang  ketika  membangun  tempat tinggal (langkeang, laig, baloi)  mereka mengambil pelajaran pada alam sekitarnya  dijadikan filosofi seperti:
1. Mereka meyakini bahwa disekitar mereka banyak binatang buas, Sehingga mereka  membangun tempat tinggal yang lantainya tidak berhubungan langsung dengan Tanah, maka sekarang ini banyak mendapati  Bangunan tempoh dulu rata-rata menggunakan pondasi Umpak dari Batu kemudian diatas batu didirikan tiang  dengan tinggi sangat beragam mulai dari 1 M sampai  dengan 3 M, yang selanjut diikat dengan pen pada takikan  balok blandar sehingga menjadi satu kesatuan arah  gaya yang kuat dan kokoh, hal ini menjadi satu bukti bahwa pengetahuan sudah dimiliki oleh para leluhur.
2. Mereka meyakini bahwa mereka sering duduk bersama  bercengkrama membangun keluarga atau menciptakan kekokohan ikatan ginalum (keluarga ), mogutat (bersaudara), ikatan Ayah, Ibu dan anak (motolu adik) sehingga .muka  lantai pun tergantung tingginya tiang bangunan itu sendiri yaitu 1 M sampai dengan  3 M.
3. Keyakinan akan fenomena alam yang tidak dapat dipisahkan  dengan kehidupan mereka  dimana hujan dan panas  datang silih berganti, maka tempat tinggal  ditutup dengan atap.
4. Istirahat (tidur) adalah bagian dari kebutuhan hidup maka nenek moyang atau para leluhur pun membangun tempat tidur.
5. Sebagai mana hujan dan panas keadaan suhu udarah berubah-rubah, maka leluhur menutup tinggal dengan dinding.
6. Pintu adalah akses masuk keluar  bangunan leluhurpun meyakini bahwa hal tersebut merupakan kebutuhan bangunan tempat tinggal yang harus dibuat.
7. Tangga adalah menjadi bagian dari sarana penting dalam bangunan tempat tinggal olehnya   mereka pun melengkapinya dengan membangun tangga menyesuaikan dengan tinggi lantai.
8. Cahaya adalah kebutuhan manusia hidup sehingga dalam bangunan tempat tinggal leluhur tidak memperhitungkan bentuk,  Jendela dan ventilasi merupakan satu kebutuhan yang tidak dapat dihindari.
9. Leluhur gemar bersilahturahmi, kunjung mengunjung antara satu dengan yang lain sudah mendarah daging sejak zaman kehidupan mereka hal ini  dapat buktikan bahwa setiap tempat tinggal dizaman dahulu bahkan sampai sekarang pada daerah perkebunan yang ada gubuknya selalu tersedia adanya gopot atau tempat menerima tamu.
10. Makan dan minum adalah kebutuhan vital, olehnya dapur sebagai tempat mengelolah makanan dan minuman  walau sebatas tungku atau doluong tetap tersedia pada tempat tinggal leluhur .
Dari gambaran diatas  dapat disimpulkan bahwa bentuk bangunan tempat tinggal leluhur empat persegi yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana bangunan sekedar untuk melindungi bagunan itu sendiri  maupun penghuninya dari fenomena alam atau dari gangguan binatang buas. hal ini semakin mebuat saya meyakini bahwa langkeang (dangau) yang sekarang banyak dijumpai sebagai tempat menjaga tanaman, baik dari  binatang pengrusak ataupun tempat istirahat seusai bekerja merupakan salah satu bentuk tempat tinggal leluhur  dahulu, kemudian berkembang menjadi laig (gubuk). Selanjutnya berkembang menjadi (baloi molantud) rumah tinggi/rumah panggung. Adapun bahan bangunan yang digunakan oleh para leluhur antara lain kayu sebagai oigi atau tiang dinding gedeg (nibong), bambu yang dicincang (bota) sementara atap masih menggunakan ilalang yang dijepit dengan bambu ( perna ada dipusat Kotamobagu bangunan PENDOPO ) bertiang NIBONG ( sejenis Falem besar),beratap ilalang yang kemudian dihapus era 70 an dan diganti dengan gedung BPU MOKODOLUDUT yang kemudian dihapus lagi tahun 2001 dan dibangun TAMAN KOTA sekarang.
 Sementara bahan bangunan lain yang banyak digunakan para leluhur   lantai gedeg ( nibong ), entah tahun berapa dan pengaruhnya dari mana perkembangan dinding menggunakan bambu anyam (pitate) atap menggunakan daun sagu/aren yang dijahit dengan tali yang terbuat dari rotan dan bambu yang jadi tulang atap.
Sudut pandang saya sebagai penulis mungkin dapat  mendekati kebenarannya dengan alasan  sebagai penulis banyak belajar tentang sejarah perkembangan Arsitektur baik tradisional maupun  perkembangan Arsitektur modern.
Komalig (Istana Kerajaan Bolaang Mongondow), dalam penelusuran sejarah Arsitektur sebagai penulis, saya menemukan sebuah foto yang bersumber dari  Almanak Naamregester Van Nederlandsch- Indie Voor Het Jaar 1853,1859,1860,1870 dan 1893 Batavia Ter Lands Drukkenj Digilized, yang dinyatakan sebagai rumah Raja Bolaang Mongondow 1893,  berbentuk empat persegi, dikelilingi serambi, beratap tinggi perpaduan atap pelana dan  belah ketupat satu kesatuan menutupi hingga serambi, dan pada bagian samping yang diperkirakan arah mata hari terbit atau bagian timur sedikit bidang atap dibuka dan dipasang memanjang kearah satu bangunan, yang berfungsi ganda, sebagai sumber pencahayaan, tetapi juga disimak lebih jauh ternyata menutup sebuah bangunan kecil dan khusus yang disebut  Gandaria (Tempat menerima Tamu)  yang lantainya dibuat lebih tinggi dari bangunan induk terlihat jelas, sementara terlihat  pada bagian serambi dikelilingi pagar  ukiran kayu, nampak pula bahwa bangunan rumah  Tahun 1893 ini menggunakan Kayu yang didirikan diatas batu sebagai pondasi umpak, dan terlihat  beberapa bangunan lain yang ada sekitarnya dengan tampilan atap yang sama dengan  rumah yang dinyatakan dalam sumbernya sebagai rumah raja tahun 1893, satu hal yang menarik pada kompleks rumah terlihat pula sebuah bangunan pintu gerbag  yang beratap pelana.
   Dari foto yang ada sekiranya tampilan bagian depannya yang jadi objek, maka    pengaruh Jawa sangat kental, tampilan atap terlihat seperti atap  rumah Joglo sehingga menimbulkan tanda tanya apakah penagruh  Kerajaan Mojopahit yang konon dikisahkan menguasai seluruh kerajaan diwilayah Nusantara, perna sampai di Bolaang Mongondow ? Lihat Foto dibawa ini.

 

persahabatan dengan Sultanbullah dari Ternate.
Pada masa kepemimpinan Raja Cornelis Manoppo pada tahun 1825-1829, ditengah menjalankan pemerintahan Raja menikahkan salah satu puteri dengan salah seorang mubalig yang datang dari Gorontalo bernama Syarif Aloewi.
Pada Tahun  1833-1858 Kerajaan Bolaang Mongondow dipimpin Raja Oleh Jcobus Manuel Manoppo, yang menikah puteri seorang Imam  TUEKO yang datang dari Gorontalo bernama ILINGO dengan perkawinan tersebut Raja Jacobus Manuel Manoppo menjadi mualaf dan langsung menyatakan Islam sebagai agama kerajaan dan mulai pada saat itu hukum-hukum Islam ditegakan, terutama pada pelaksanaan pernikahan dengan ritual-ritual sesuai dengan ajaran Islam dimulai pada tahun 1849, ditengah pemerintahannya Raja Jacobus Manuel Manoppo melapor kepada Pemerintah Hindia Belanda bahwa dia telah memeluk agama Islam dan meminta agar pemerintah Hindia Belanda mendatangkan Imam dari Mekah, atas laporan Raja tersebut  Pemerintah Hindia Belanda memberikan gelar SULTAN kepada sang Raja, maka sejak saat itu nama berubah dengan panggilan  Raja SULTAN JACOBUS MANUEL MANOPPO,  Pemerintah Hindia Belanda memenuhi permintaan Raja Sultan Jacobus Manuel Manoppo dengan mendatangkan Imam dari Ace yang konon dikabarkan berasal dari Mekah yang bernama RIZIK MAKI dengan membawah mashab Syafii yang dengan demikian orang Mongondow ketika itu menyebutnya Imam Syafii.
Masa-masa inilah pengaruh Islam mulai merambah Kerajaan Bolaang Mongondow, namun tidak ada tulisan yang memberikan gamabaran tentang bangunan peninggalan Islam dimasa kepemimpinan Raja Sultan Jacobus Manuel Manoppo, misalnya berupa Masjid atau Surau.
            Pada tahun 1999 oleh Keluarga besar Manoppo menunjuk saya menyusun perencanaan dan pekaksana pembuatan akses jalan menuju makam Raja Sultan Jacobus Manuel Manoppo,menyambung akses jalan yang sudah dibangun sebelumnya oleh Keluarga besar Sugeha menuju makam Raja Abraham Panungkelan Sugeha ke arah kiri, dan untuk pertama kalinya saya datang ziara ke makam Raja –raja atau GERE DI BOLAANG, betapa terkejutnya saya ketika saya menemukan makam RAJA SULTAN JACOBUS MANUEL MANOPPO  yang dipagar dengan batu yang konon menggunakan perekat putih telur burung maleo,yang diaduk dengan kapur  terbuat dari kerang laut yang dibakar dan dibangunlah pagar keliling makam dengan model tandu kerbau yang oleh orang Mongondow menyebutnya SINON KAROMBAU, ( model tandu kerbau ).
            Pada saat pelaksanaan pembuatan akses jalan, menuju makam tersebut suatu hari pada saat sedang istirahat saya dengan   seorang tukang duduk didalam lingkungan SINON KAROMBAU tersebut didatangi oleh seorang nenek dari Bolaang dan bercerita dengan bahasa Mongondow “ sia na’a ki tuang pino takod “ atau dia inilah Raja yang dinaikan kepuncak gunung, kemudian nenek tersebut memegang pagar  SINON KAROMBAU dan berkata kaasi in niatnya dia nodapot igumonnya atop in Komalignya pomiaan na Sinon Karombau atau kasian niatnya tidak tercapai dimana sang raja berniat atap Komalig atau istananya dirubah seperti model tandu Kerbau, sang nenekpun melanjutkan ceritanya dengan bahasa Mongondow “ sahingga tonga pinogaid kon kuburnya “ akhirnya niat itu diwujudkan oleh masyarakat untuk memagari kuburnya, kemudian sang nenek meninggalkan kami dan turun sedikit dan membersihkan satu makam yang begitu saya lihat makam Raja Ridel Manuel Manoppo dan setelah itu nenekpun pamit pulang.
            Sungguh menarik cerita sang nenek tetapi tidak dapat dijadikan referensi  sekiranya benar ternyata Raja  Sultan Jacobus Manuel Manoppo, sudah merencanakan Istananya akan dirubah bentuk atapnya dalam sebutan sang nenek seperti  SINON KAROMBAU, dan sekiranya terwujud maka Bangunan tersebut tak ubahnya seperti gaya rumah gadang Sumatra Barat, bagi saya sebagai penulis mengira-ngira apakah cerita tadi pengaruh Islam  yang sudah dinyatakan sebagai agama kerajaan atau pengaruh Melayu yang secara kebetulan Kerajaan Bolaang Mongondow sudah kedatangan Imam Rizik Maki yang perna tinggal di tanah rencong Ace ? wala hualam bi sawab. ( sebagai penulis akan berusaha untuk mengambil foto SINON KAROMBAU pagar makam RAJA SULTAN JACOBUS MANUEL MANOPPO di BOLAANG ).
            Pengaruh Islam semakin luas pada masa pemrintahan Raja Abraham Panungkelan Sugeha   Tahun 1886-1893 setelah menggantikan Raja JOHANES MANUEL MANOPPO yang dibuang oleh Belanda ke- pulau Jawa, sang Rajalah yang jadi penda’i, namun  tidak ada juga bukti yang menjadi situs sejarahnya.
 
Era  awal Abad 20,

Perpindahan ibu kota kerajaan pada tahun 1900 dari Bolaang ke Kota Baru diawali dengan pindahnya wakil pemerintah Belanda ke Sia, dan disanalah disusun rencana membuka Kota Baru sebagi cikal bakal terbentuknya Kotamobagu sekarang, dari mulut ke mulut dikisahkan bahwa kantor Conteuleur bertempat di lokasi Rumah Jabatan Wali Kota Kotamobagu sekarang, enta seperti apa bentuk bangunannya namun diyakini bahwa bangunan tersebut masih dominan menggunakan bahan bangunan lokal yaitu kayu.

Pembangunan KOMALIG atau Rumah Raja

Dengan dibangunnya Kantor Conteuleur di Kotamobagu, maka pemerintah kerajaan Bolaang Mongondow yang awalnya berpusat di Bolaang pun dipindahkan ke Kotobangon yang diawali dengan pembangunan KOMALIG atau rumah Raja, dimana struktur dan arsitektur memberikan gambaran kewibawaan, kebangsawanan namun tetap terlihat pola dasarnya adalah langkeang dan tetap menampilkan  penonjolan gandaria sebagai perubahan gopot masa leluhur dahulu, pada bagian depan . 


Yang sangat menarik perhatian  disamping penonjolan Arsitektur yang artistik dengan tampilan ornamen kayu bercorak sederhana, ada pulah penonjolan  struktur konstruksi kayu jepit dimana mengingatkan saya sebagai Tenaga Penyuluh Bidang Perumahan Sub Dinas Cipta Karya Dinas PU Provensi Sulawesi Utara cabang Dinas PU Bolaang Mongondow pada era 1990an dengan Program Pemugaran Perumahan desa kami memperkenalkan konstruksi papan paku dengan sturuktur jepit, hal ini menimbulkan rasa bangga selaku anak Mongondow ternyata sebelum adanya penemuan para ahli tentang konstruksi papan paku permulaan abad 20 di Bolaang Mongondow sudah digunakannya. Namun patut dicatat dengan munculnya Komalig sebagai rumah Raja, maka dikisahkan bahwa didesa-desa bermunculan rumah panggung yang konon mengikuti tampilan tangga seperti  Komalig sehingga dapat dinyatakan sebagai rumah tinggal ciri khas Mongondow.


Bolaang Mongondow kehilangan ciri khas

Sejarah Indonesia menyebutkan bahwa penyebab pemberontakan PRRI PERMESTA  adalah adanya hubungan yang tidak harmonis antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah terutama di Sumatera dan Sulawesi mengenai Otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah sikap tidak puas tersebut mendapat dukungan beberapa perwira militer hingga pecahnya pemberontakan, yang sangat disayangkan niat baik perjuangan Otonomi daerah dikalah itu ternoda akibat keganasan tentara Permesta yang tidak mempertimbangkan hak-hak rakyat hingga membakar rumah-rumah penduduk yang sudah susah paya dibangun.
            Konon dikisahkan bahwa pembakaran rumah –rumah penduduk hingga ke pelosok desa  termasuk pembakaran Komalig atau rumah Raja dilakukan oleh Permesta sekitar tahun 1957 -1958 yang dengan demikian berdampak Bolaang Mongondow kehilangan ciri khas bangunannya.


POLA KOMALIG JADI RUMAH ADAT
Gagasan Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah dinyatakan oleh Ibu Negara Siti Hartina Suharto yang akrab dengan Sebutan IBU TIN SOEHARTO selaku ketua Yayasan Harapan Kita yang berdiri pada tanggal 28 Agustus 1968, pada rapat pengurus YHK pada tanggal 13 Maret 1970 di jalan Cendana No 8 Jakarta.
Bentuk dan sifat isian proyek berupa bangunan utama bercorak rumah-rumah adat daerah yang dilengkapi dengan pagelaran kesenian, kekayaan flora dan fauna, dan unsur budaya lain  dari masing-masing daerah yang ada di Indonesia.
            Pada Tanggal 30 Januari 1971, pada penutupan rapat kerja Gubernur Bupati dan Wali Kota se Indonesia dihadiri oleh Presiden Suharto dan Ibu Tin Soeharto yang didampingi oleh Mendagri Amir Mahmud untuk pertama kalinya memaparkan maksud dan tujuan Pembangunan Miniatur Indonesia “ Indonesia Indah “ didepan umum.
Hal tersebutlah yang menjadi pemicu daerah-daerah mencanangkan bentuk rumah adatnya masing-masing yang tidak lain bersumber dari khasana budaya sendiri.
            Bolaang Mongondow tak mau ketinggalan maka Bupati  Alm. Kolonel CPM OE N MOKOAGOW mencanangkan rumah Raja ( Komalig ) yang dibangun 1901 menjadi rumah adat Bolaang Mongondow  yang dengan demikian struktur, arsitektur, dan utilitas lainnya diharuskan mengandung arti, hal imi memicu diri saya untuk ingin tau akan hal-hal yang terkandung dalam komponen rumah adat Bolaang mongondow, namun tokoh-tokoh adatpun tidak ada yang dapat memberikan penjelasan, hal tersebut kembali mendorong saya untuk mencoba menggali dengan dasar, melihat dan mengalami langsung kehidupan keturunan  para Raja, maaf Kaum ( bangsawan ) yang dianggap oleh sebahagian orang sebagai fiodal tetapi kenyataan yang saya jumpai selama ini justru terbalik karena saya banyak bersama para keturunan raja yang  penuh dengan tata krama, dan memiliki kemampuan untuk mengayomi orang banyak hal ini  saya alami sejak  masa kanak-kanak era 60an, hingga sekarang, berdasarkan hal tersebut dan membaca beberapa sejarah Bolaang Mongondow, mulai yang ditulis oleh masing-masing : W DUNABIER, B GINUPIT, TANGGAPAN ATAS TULISAN W DUNABIER OLEH BAPAK R MOKOGINTA DAN BAPAK F MOKOGINTA, Sejarah Bolaang Mongondow oleh  DRS HI, SYAMSUL MOKOGINTA, SILSILAH ( SLAKBOM ) YANG DISUSUN OLEH  ALM .BAPAK HAMIDU MANOPPO, SILSILAH ( SLAKBOM ) YANG DISUSUN OLEH KAKEK KAMI ABO, BANJAR  T MANOPPO, SILSILAH ( SLAKBOM ) YANG DISUSUN OLEH ABO,  YAHYA DJANGGOLA  ( saudara Kandung Gubernur Sulawesi Tengah ), SILSILAH YANG DISUSUN OLEH ABO ANDUNG SUGEHA, PERJALANAN HIDUP 2 ( DUA ) TOKOH ADAT ABO, PAMGGULU PILIS MOKOGINTA DAN ABO PANGGULU MUHAEBAT KADENGKANG YANG BANYAK DIKISAHKAN OLEH ALM. BAPAK J C MOKOGINTA, Membaca Penelusuran Sejarah Bolaang Mongondow oleh Drs. HEIN MAMONTO, Membaca AD  ART  RUKUN KELUARGA MOKOAGOW, oleh Organisasi Keluarga MOKOAGOW, Membaca AD ART RUKUN KELUARGA SUGEHA di MOTOBOI BESAR dan sekitarnya, Membaca AD ART KELUARGA MANOPPO, yang kesemuanya dilampirkan sejarah keluarga yang tidak lepas dari sejarah Kerajaan Bolaang Mongondow, dan lain-lain yang diceritakan orang-orang tua yang terlibat langsung dalam kehidupan yang berpegang teguh pada Adat istiadat,   
Atas dasar itu semua saya mencobah menggali kandungan yang terkandung dalam struktur dan srsitektur dan utilitas lain pada rumah adat yang tentunya belum dapat dipastikan kebenarannya namun diharapkan dengan adanya penafsiran saya yang sangat terbatas ini mendapatkan perbaikan dari orang yang memahami hal tersebut, Dengan demikian  kandungan arti satu demi satu  komponen-komponen rumah adat, menurut tafsiran saya yang sangat terbaras ini sebagai berikut :  :
1.      OIGI atau Tiang bawah dan BORORANG atau balok belandar menggambarkan Kekokohan persatuan Paloko atau Rakyat mosintak atau mengangkat Kinalang  atau pemerintah yaitu tafsiran tentang perjanjian Paloko dan Kinalang.
2.      OIGI KON TUDUNYA atau Tiang atas dan Dinding adalah menggambarkab Pembantu-pembantu Raja/Pemimpin atau TONDOL/OPOD in Datoe yang menjalankan tugas mengayomi dan melindungi/melayani  masyarakat.
3.      KUDA-KUDA, RANGKA, dan ATOP bersusun menggambarkan  kebesaran,kewibawaan,  dan atap bagian depan melambangkan sebuah mahkota kebangsawanan bagi seorang Datoe ( Raja ) atau Pemimpin.
4.      TUKAD DEEWA KON MUNA atau Dua Tangga depan melambangkan keterbukaan.
5.       GANDARIA atau beranda adalah tempat spesial menerima Tamu.
6.       LOLINGKOP KON MUNA atau  pintu depan adalah batas rahasia Keluarga.
7.       LOLINGKOP IN TUOT  atau pintu Kamar adalah harga diri penghuni kamar.
8.      TALOG, BONU BALOI atau lantai, ruang dalam rumah adalah  privasi keluarga tempat khusus membangun Pogoginalum ( Kekeluargaan), Pogogutat (Persaudaraan), Pototolu adik ( kekokohan ikatan Ayah,Ibu dan Anak ), disamping itu  Tempat  tersebut hanya boleh dimasuki oleh anggota keluarga melalui Tangga/ pintu samping, sementara tamu yang di ijinkan masuk ke ruang dalam adalah tamu yang membawah berita menyagkut privasi kedua belah pihak misalnya mau meminang, pengajian, selamatan serta hajat keluarga yang melibatkan orang banyak.
9.      LOLINGKOP IN ABU atau pintu dapur adalah batas privasi Keluarga.
10.  LISPLANK yang dipasang berpola Lapi-lapi dan Hamuse adalah  ornamen adat yang telah ditentukan batas-batas penggunaannya  dan  Hamuse adalah pakaian puteri Mongondow,
11.  TONDOK IN GANDARIA Pagar keliling tempat spesial menerima tamu,  terbuat dari kayu bercorak melambangkan ke rama tamaan dan ke indahan tutur kata orang Bolaang Mongondow menerima tamu.
Dari sebelas kandungan arti dari komponen-komponen rumah adat mengandung nilai-nilai sebagai berikut :
-         OIGI BO BORORANG- Paloko ( rakyat ) memiliki jiwa Patriot mendukung Pemimpinnya.
Kinalang ( Pemimpin/Pemerintah ) setia dan mengayomi rakyat
-      OIGI KON TUDUNYA BO DINDING Pemimpin melalui pembantu-pembantunya mewujudkan pelayanan yang optimal kepada masyarakat.
-       KUDA-KUDA,RANGKA BO ATOP Lambang kewibawaan pemimpin adalah yang mampu memenuhi kewajibannya untuk mengayomi masyarakat.
-    TUKAD DEEWA KOMUNA Keterbukaan orang Bolaang Mongondow adalah mampu menerima dan membaur dengan suku manapun.
-          GANDARIA Silahturrahmi dan memuliakan tamu adalah budaya yang mengakar dan mendarah daging bagi orang Bolaang Mongondow
-       LOLINGKOP KON MUNA Meletakan wibawa keluarga pada pintu gerbang utama adalah bagian dari menjaga utuhnya rahasia keluarga.
-          LOLINGKOP IN TUOT Meletakan kehormatan keluarga sebagai harga diri yang harus dijaga.
-      TALOG BO BONU BALOI Membangun kebersamaan keluargaan,saudara dan memperkuat ikatan yang kokoh Ayah, Ibu dan anak, merupakan hal yang wajib bagi orang Bolaang Mongondow.
-     LOLINGKOP IN ABU Keberadaan dan keadaan keluarga menjadi bagian dari rahasia yang harus dijaga.
-        LISPLANK Ornamen adat mengandung nilai karismatik yang harus dipertahankan.
-      TONDOK IN GANDARIA rama-tama menjadi ciri khas orang Bolaang Mongondow menerima tamu.
Dari bermacam arti dan nilai-nila yang terkandung dalam komponen-komponen rumah adat, yang  utarakan diatas ada beberapa hal yang menarik,  seperti Gandaria atau tempat spesial untuk menerima tamu, yang menurut tafsiran saya hal ini adalah bagian dari penegembangan GOPOT dan GOGABATAN pada zaman kehidupan leluhur dahulu.
Sementara menyangkut pintu depan sebagai batas rahasia keluarga, dan pintu kamar sebagai harga diri penghuni kamar, maka dibawah ini gambaran tantang Cerita  beberapa rumah yang pernah ada di desa MOTOBOI BESAR masa lalu seperti BALOI MOLOBEN milik Abo Panggulu MUHAEBAT KADENGKANG, BALOI SENG milik ABO LOHO LOLODA MOKOAGOW, Baloi MOLANTUD milik ABO MAYOR HENDRIK SUGEHA dan BALOI MOBUDO milik Keluarga ABO MAYOR LOBANSUBU MANOPPO ( Kakek Gubernur SULAWESI Tengah  LONGKY DJANGGOLA ) bahwa masing-masing rumah tersebut diceritakan oleh orang-orang Motoboi Besar yang masih sempat menyaksikan langsung bahwa tamu yang datang dijemput oleh tuan rumah di gandaria dengan keadaan pintu utama masuk ruang dalam tertutup, tetapi hal yang menarik pula bahwa pada ruang dalam tersebut ada sebuah tempat tidur yang teratur rapih dan ditutup dengan kelambu yang konon tempat tidur tersebut diperuntukan kepada Tamu spesial yang dipastikan pertama calon Anggota Keluarga atau calon menantu, atau keluarga yang datang dari jauh, konon sekiranya ada tamu yang tidur maka ditunjuklah anggota keluarga yang yang tidur beralas kasur dilantai, sekiranya tamu itu laki-laki maka yang menemaninya 1 ( satu ) orang laki-laki, sekiranya tamu yang datang  itu perempuan dan tidur maka disiapkan pula 2 ( dua ) orang perempuan tidur dibawah tempat tidur tamu,  hal ini menandakan bahwa betul-betul kamar tidur adalah lambang harga diri penghuni kamar.
 Dari sekian rumah yang ditulis diatas masih ada satu rumah yang  masih berdiri sesuai aslinya yaitu Baloi Mobudo atau rumah dari Kakeknya Gubernur Sulawesi Tengah, yang menempatkan Gandaria yang pertama di jumpai oleh siapapun yang datang sementara pintu khusus Keluarga dalam rumah ada pada bagian samping.

Yang paling menarik dalam penelusuran saya ditengah Daerah ini kehilangan Ciri khas Arsitekturnya hingga saat ini sentuhan Pemerintah kembali menampilkan Arsitektur Bolaang Mongondow baru satu kali  terjadi yaitu  pada masa Kepemimpinan BUPATI DRS. Hi. J. A DAMOPOLII  dengan membangun BOBAKIDAN

ERA 60an HINGGA SAAT INI.

Kebangkitan masyarakat Bolaang Mongondow setelah harta benda berupa bangunan rumah menjadi korban keganasan PERMESTA dimulai pada awal tahun 60an disana-sini bangunan-bangunan yang menampilkan beragam tampilan Arsitektur walau demikian  masih banyak yang  menampilkan atap pelana, belah ketupat yang menjadi ciri khas leluhur Bangsa Indonesia yang tentunya tidak dapat dinyatakan atau  diakui secara sepihak sebagai Arsitektur lokal Bolaang Mongondow tetapi patut pula diakui bahwa Atap pelana sudah mendarah daging sejak adanya  nenek moyang Bolaang Mongondow.
Perkembangan Arsitektur berlangsung terus merambah  seluruh pelosok negeri kita pun di Bolaang Mongondow terbawa arus modernisasi, tampilan Arsitektur Eropa  bermunculan dimana-mana kita semakin jauh dari ciri khas, bahkan tanpa disadari kita terjerumus pada gaya bangunan daerah bersalju namun hal itu tidak jadi indikator bagi pemilik bangunan hanya memegang prinsif yang terpenting adalah tampilan walau itu harus mengorbankan nilai-nilai budaya sendiri.
Maaf tulisan ini tidak bertujuan menyinggung siapapun namun sangat diharap tulisan ini dapat mengingatkan kita semua bahwa kita memiliki kekayaan budaya termasuk didalamnya adalah kekayaan Arsitektur yang tidak kalah dengan daerah lain pada khususnya maupun Bangsa lain pada umumnya.

Demikian penelusuran Arsitektur Bolaang Mongondow ini diharapkan kritik dan masukan guna menambah wawasan pengetahuan saya yang sangat terbatas ini, hal lain saya mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang banyak memberikan gambaran tentang kehidupan para leluhur, pertama kepada Paman saya Bapak Hi. P L SUGEHA,  Sepuh saya Drs HEIN MAMONTO yang banyak memberikan dukungan tentang tulisan ini.
 Dengan ucapan “ MOTOBATU MOLINTAK KON TOTABUAN saya akhiri tulisan ini wasalam.


6 komentar:

  1. terima kasih banyak atas ilmunya. saya jadikan reerensi tugas arsitektur nusantara saya untuk minggu depan, hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya iya semoga bermanfaat yaa

      Hapus
    2. blh minta data nya ttg TA tema ars nusantara,ada kontak yg bisa di hubungi?

      Hapus
  2. Mo hebat in adat naton..saatnya di lestarikan dan wajib di jaga oleh segenap rakyat in totabuan...

    BalasHapus
  3. dipersilahkan.. semoga bermanfaat..

    BalasHapus